Dari Temasik, Sejarah Pers Melayu Bermula

Potret Singapura tempo dulu. (Foto: Epigram Books)

Oleh Sutrianto dan Saibansah Dardani *)

KORAN-KORAN harian dan mingguan serta media online yang terbit di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) hari ini, tak dapat dipisahkan dari jejak sejarah Raja Ali Kelana dan Syaikh Jalaluddin Tahir. Merekalah yang pertamakali menerbitkan majalah di Temasik, Singapura 1906 lalu. Menggunakan Bahasa Jawi atau Arab Melayu. Dari sepak terjang kreatif Raja Ali Kelana itulah, jejak sejarah jurnalisme Melayu terus bergerak, hingga hari ini.

Secara cultural, wilayah Provinsi Kepri, sesungguhnya adalah Melayu Kecil – Melayu Besar adalah Melanesia yang membentang dari Madagaskar hingga ke Kepulauan Haiti – telah menyumbangkan salah satu sumber kekayaan terbesarnya: bahasa Indonesia. Sebagai “pemilik sah” bahan baku kebudayaan – bahasa – Riau (dalam pengertian kebudayaan adalah Riau sebelum dipisahkan menjadi dua provinsi: Riau dan Kepulauan Riau) patut dicatat telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan tradisi kesusastraan Indonesia modern.

Tradisi intelektual dan penulisan karya sastra sendiri di Riau sebenarnya baru berkembang pada abad ke-19. Namun sesungguhnya – sebagaimana tradisi sastra nusantara pada umumnya – sastra Melayu Riau sudah ada jauh sebelum itu dengan hidup dan berkembangnya tradisi sastra lisan yang membentang di sepanjang Kepulauan Bintan (Kepulauan Riau), Siak Sri Inderapura dan Indragiri. Pada abad ke-16, misalnya, tanah Melayu yang membentang di sepanjang Tanah Semenanjung (Malaka = Malaysia) hingga ke Borneo (Kalimantan), Kepulauan Moro (Filipina) dan Kepulauan Riau, telah menghasilkan karya-karya agung seperti Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) dan Hikayat Hang Tuah.

Di Kepulauan Riau tradisi sastra lisan ini menemukan bentuknya yang spesifik dalam bentuk tradisi tulisan dengan munculnya sejumlah intelektual-sastrawan kerajaan di Penyengat dengan Raja Ali Haji sebagai master. Terbitnya buku Kitab Pengetahuan Bahasa karya pujangga terkemuka Riau ini pada pertengahan abad ke-19 (1857) menunjukkan bahwa pembinaan susastra tulisan sudah cukup berkembang di kawasan ini. Patut dicatat bahwa perkembangan tradisi intelektual dan susastra tulisan ini sangat berkait-kelindan dengan lahirnya penerbitan persuratkabaran di Riau, terutama di wilayah segi tiga Riau-Johor-Singapura.

Ketiganya – tradisi intelektual, susastra tulisan dan persuratkabaran – bergerak secara bersamaan yang kemudian disebut sebagai ’’kepandaian dalam berbudaya (ilmu tarasul), yang pada mulanya diawali dengan kebiasaan surat-menyurat.’’ (Hasan Junus, 1988) Namun demikian, tradisi persuratkabaran dengan manajemen jurnalistik modern baru benar-benar ada setelah tutupnya abad ke-19 dengan terbitnya majalah Al Imam yang dikelola oleh Raja Ali Kelana dan Syaikh Jalaluddin Tahir di Singapura pada tahun 1906.Walaupun majalah yang menggunakan bahasa Jawi atau Arab-Melayu ini terbit di Singapura, namun para pengelolanya merupakan orang-orang Riau yang menyeberang ke negeri Tumasik dalam rentang waktu abad ke-19 yang ketika itu masih menjadi bagian dari wilayah Riau.Setelah ditandatanganinya Perjanjian London, 2 Agustus 1824, kedua wilayah ini terbelah menjadi Riau dan Malaka.

Sulit membedakan relasi yang signifikan antara tradisi susastra tulisan dan tradisi jurnalistik ini, sebab keduanya saling mempengaruhi.Bahkan, secara tidak langsung tradisi persuratan ini telah menyediakan tempat persemaian yang subur bagi berkembangnya diskursus kesusastraaan, hukum, budaya, agama dan sebagainya.Riau Kepulauan boleh dikatakan sebagai sentral pertumbuhan tradisi intelektual, walaupun sebenarnya pada abad ke-19 itu telah berdiri sejumlah kerajaan besar di Riau, seperti Siak Sri Inderapura, Inderagiri, Rokan, Pelalawan dan sebagainya.

Terbitnya buku Raja Ali Haji Syair Abdul Muluk di Singapura pada tahun 1861 oleh percetakan Saidina dan Haji Muhammad Yahya menunjukkan bahwa percetakan (press) turut mendukung pula perkembangan susastra di kawasan ini (buku Raja Ali Haji ini sebelumnya dicetak di Batavia pada tahun 1846). Di Riau sendiri, dalam pengertian geografis, tradisi percetakan baru ada tahun 1886, dengan diterbitkannya buku-buku Raja Ali Haji di percetakan Litografi Pejabat Kerajaan Lingga di Daik.Tahun ini merupakan puncak perkembangan tradisi tulisan di Riau dengan berdirinya perpustakaan pertama “Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi”, dan dua percetakan besar “Mathba’at Al-Riuawiyah” dan “Mathba’at Al-Ahmadiyah”.

Pada tahun ini pula ditubuhkan perkumpulan cendikiawan “Rusdiah Klab” yang kelak akan menjadi kelompok thing-tank dan sekaligus sebagai kontributor utama bagi berkembangnya majalah Al-Imam. Berdirinya perkumpulan “Rusdiah Klab” perlu mendapat catatan khusus pula karena lembaga kebudayaan non-pemerintah ini mampu bersikap sebagai pressure group terhadap pemerintah.

Sepanjang 18 tahun antara berdirinya perkumpulan “Rusdiah Klab” dengan berdirinya dua percetakan besar tersebut telah memberikan ruang yang cukup besar bagi lahirnya intelektual muda yang di kemudian hari sangat berperan dalam membangun Al-Imam. Dalam rentang inilah lahir karya-karya budaya agung di Riau, yang dicetak baik di Riau sendiri oleh percetakan “Mathba’at Al-Riawiyah”, “Mathba’at Al-Ahmadiyah”, percetakan Saidina dan Haji Muhammad Yahya di Singapura maupun oleh percetakan di Batavia dan Belanda.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa tradisi atau cikal-bakal lahirnya susastra modern di Riau sudah diletakkan pondasinya pada pertengahan abad ke-19. Namun demikian, tradisi sastra yang lahir di kawasan ini masih menggunakan gaya pengungkapan sastra Melayu Lama, seperti pantun, syair, gurindam, dan hikayat. Perlu dicatat, seperti telah disebutkan di atas, keberadaan Haji Ibrahim pun ikut mewarnai susastra di kawasan ini dengan diaksarakannya cerita-cerita lisan seperti Lebai Malang dan Pak Belalang dalam bentuk cerpen.

ERA SERBUAN KELOMPOK MEDIA

Tradisi percetakan dan persuratan (surat kabar) di Kepri terjadi pada saat tradisi yang pernah sukses dibangun oleh intelektual pendahulu di Riau sedang mengalami kemunduran yang cukup berarti. Saat itu, Sumatera Barat menjadi kiblat persuratkabaran untuk wilayah Sumatera Barat dan Tengah. Daerah ini sedikitnya memiliki tiga surat kabar yang sangat berpengaruh pada masa itu: Haluan, Singgalang dan Semangat. Bandingkan dengan Riau, selama 90 tahun (sebenarnya bisa dikatakan satu abad) pada abad ke-20 tidak ada satu pun terbit surat kabar harian di Riau, hingga akhirnya tahun 1990 terbit Surat Kabar Harian Riau Pos.

Kehadiran Harian Riau Pos – kami bersua penulis artikel ini dibesarkan oleh Harian Riau Pos – membuka peluang bagi lahirnya para jurnalis dan penulis handal di tanah Melayu. Termasuk, menyuburkan dunia kepenyairan di Provinsi Kepri. Karena Harian Riau Pos memberi ruang kreativitas para budayawan dan sastrawan yang seluas-luasnya. Hal itu dibuktikan dengan membuka halaman sastra bernama : Sagang.  

Padahal, hampir setengah abad tradisi penulisan sastra – roman dan cerpen – di Riau mengalami kevakuman. Dalam rentang waktu 1920 hingga tahun 1960-an akhir (selama 40 tahun!) tidak seorang pun penulis cerpen atau roman asal Riau yang bisa berbicara di tingkat nasional dan memberikan kontribusi dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Barulah di pertengahan abad ke-20 (tahun 1960-an) tradisi ini mulai mendapat apresiasi dengan munculnya seorang penulis cerpen dari generasi muda, Rustam S Abrus (Rus Abrus). Pengarang yang lebih dikenal sebagai birokrat ini (jabatan terakhir wakil gubernur Riau sebelum meninggal tahun 2001) dalam mengembangkan tradisi kepenulisannya lebih banyak bersentuhan dengan Pulau Jawa karena pada saat itu ia sedang menuntut ilmu di Jakarta.

Kehadiran halaman sastra Harian Riau Pos, Sagang, menjadi pemicu booming penulisan cerpen. Jika sebelum terbitnya Riau Pos cerpenis-cerpenis Riau lebih banyak mengadu karier melalui penerbitan di Jakarta, Padang dan Medan – dan hanya sekali-sekali yang mau menulis cerpen di Serantau Riau (edisi koran masuk desa Surat Kabar Mingguan Genta) – maka sejak terbitnya Riau Pos kiblat penulisan berpaling ke Pekanbaru. Hal ini terjadi selain persaingan untuk dapat terbit lebih longgar, Riau Pos sendiri melalui rubrik budaya ’’Sagang” sangat memberi peluang bagi sastrawan muda Riau untuk berkembang.

Pada era ini lahirlah sejumlah cerpenis muda berbakat seperti Abel Tasman, Samson Rambah Pasir, Hasan Aspahani, Saidul Tombang, Ahmad S Udi, Ramon Damora, Murparsaulian, Taufik Muntasir, Hang Kafrawi, Abdul Kadir Ibrahim, Musa Ismail, dan masih banyak lagi. Belakangan muncul nama-nama baru seperti Marhalim Zaini (cerpenis ini sebenarnya sudah bermetamorfosis di Jawa saat menuntut ilmu di Jogyakarta), Olyrinson, M Badri, Sobirin Zaini, Alang Rizal, Zainul IkAbdul Malik, hwan, Pandapotan MT Sialagan, Gde Agung Lontar, Griven H Putra, Hang Kafrawi, Dantje S Moes, Zuarman Ahmad, untuk menyebut beberapa nama.

Secara kuantitas dalam sepertempat abad terakhir sejak terbitnya Surat Kabar Harian Riau Pos (1990), sedikitnya telah diproduksi sebanyak 3000-3500 cerpen dengan asumsi sebagai berikut: setiap tahun Riau Pos memproduksi 52 cerita pendek (dalam setahun surat kabar ini menyediakan lebih kurang 52 edisi Minggu yang menyediakan ruang bagi cerpen). Usia Riau Pos sendiri hingga tahun ini, 2015 sudah 25 tahun.

Kemudian tahun 1999, terbit beberapa surat kabar harian yang hingga kini masih eksis, seperti Riau Mandiri (Haluan Mandiri), Majalah Budaya Sagang, Batam Pos dan Sijori Mandiri (Haluan Kepri) yang juga menyediakan ruang cerpen. Rata-rata koran dan majalah ini sudah berusia 15 tahun. Belum lagi ditambah dengan kehadiran SKK Bahana Mahasiswa Universitas Riau yang terbit sejak tahun 1980 (sudah berusia 34 tahun!), yang hingga kini tetap konsisten menyediakan halaman budaya, termasuk cerpen, dalam setiap edisinya. Ditambah dengan penerbitan kampus lainnya – AKLaMasi (Universitas Islam Riau) dan Gagasan (IAIN Susqa) – maka jumlah produksi cerpen dalam 25 tahun terakhir ini sangat memungkinkan sebanyak yang diperkirakan tersebut.

Lima tahun pertama usia Harian Riau Pos, sudah langsung menggebrak jaringan distribusi pemasarannya ke Batam dan Tanjungpinang, ketika itu masih satu Provinsi dengan Riau. Dengan dinahkodai Marganas Nainggolan, perkembangan Harian Riau Pos di Batam dan Tanjungpinang, terus bergerak naik. Sampai akhirnya, Pak Rida K Liamsi, bos Harian Riau Pos, memutuskan untuk menerbitkan sendiri koran di Batam yang diberinama Sijori Pos.

Nama Sijori itu diangkat dari semangat pertumbuhan segitiga bersama, Singapura-Johor-Riau. Tapi ternyata, dalam perjalanan waktu, semangat Sijori itu semakin memudar bahkan nyaris hilang. Singapura terlampau jauh meninggalkan Riau dalam hal pertubuhan ekonomi dan pembangunan. Sehingga, konsep pertumbuhan bersama itu tidak ada lagi. Bersamaan dengan itu, nama Sijori Pos pun kemudian “dikandangkan” oleh Pak Rida K Liamsi. Lalu berganti nama menjadi Batam Pos.

Padahal, sesungguhnya, Batam Pos itu adalah produk lain milik Riau Pos Group di Batam. Batam Pos itu adalah “koran kuning” yang akrab dengan darah dan mayat. Tapi bos besar Riau Pos Group, Dahlan Iskan, ketika itu memiliki keyakinai kuat, bahwa nama Batam Pos, lebih layak dipakai untuk menggantikan Sijori Pos. Dan ternyata, keyakinan Dahlan Iskan itu benar adanya. Kini, Batam Pos tumbuh semakin besar dan menjadi koran pertama dan terbesar di Batam. Bahkan, Batam Pos adalah media pertama di Batam yang memiliki gedung tertinggi di Kepri, Graha Pena.

Setelah namanya “diambil”, Batam Pos yang koran criminal itu pun diganti namanya menjadi, Posmetro Batam. Sama dengan Batam Pos, Posmetro Batam pun berhasil tumbuh menjadi koran criminal terbesar saat ini di Kepri. Sebelumnya, pada tahun 2002 lalu, juga sudah pernah terbit  koran criminal dengan format kecil bernama : Koran Batam. Tapi koran criminal ini hanya berumur tidak lebih 3 tahun.

Lalu, kelompok Kompas Gramedia Group mulai melihat bahwa masa depan bisnis media di Kepri sangat menjanjika. Mereka pun kemudian menerbitkan Tribun Batam dan diikuti dengan Bintan News. Goresan sejarah pers di Kepri belum berhenti. Hari ini, harian yang terbit di Kepri adalah : Batam Pos, Posmetro Batam, Haluan Kepri (dulunya : Sijori Mandiri), Tribun Batam, dan Bintan News. Serta, ada puluhan media mingguan yang juga eksis hingga hari ini. Sementara media online yang paling besar dan eksis di Kepri pada hari ini adalah : www.batamtoday.com *

*) Sutrianto adalah wartawan Riau Pos Pekanbaru. Saibansah Dardani adalah mantan wartawan Riau Pos yang saat ini menjadi wartawan Majalah Warta Ekonomi dan Redaktur Senior batamdoday.com.