Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin

Syekh Tahir Jalaluddin. (Foto: Repro Buku “Ayahku” karya Hamka, terbitan 1982)

KEPRIHERITAGE.ID – Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin – sering juga ditulis dengan Thaher – adalah ulama ahli ilmu falak dan astronomi. Karena itu, nama belakangnya juga sering ditambah Al-Falaki. Lahir di Luhak Agam, Minangkabau, ia mengembara ke berbagai negara dan daerah hingga akhirnya menetap sampai akhir hayat di Semenanjung Malaka, Malaysia.

Syekh Tahir lahir di Cangkiang, Nagari Batu Taba, Ampek Angkek, Kabupaten Agam. “Syekh Tahir dilahirkan pada 4 hari bulan Ramadan 1286, berkebetulan dengan 7 Desember 1869,” tulis Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) di Buku “Ayahku” (1982).

Itu artinya, menurut Hamka, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lebih tua 10 tahun dibanding Syekh Tahir. Syekh Ahmad Khatib adalah kakak sepupu Syekh Tahir. Ibu mereka bersaudara. Gandam Urai, ibu Syekh Tahir adalah kakak kandung Limbak Urai, ibunda Syekh Ahmad Khatib.

Ayah Syekh Tahir adalah Tuanku Muhammmad yang lebih dikenal sebagai Tuanku Cangkiang. Kakeknya Jalaluddin gelar Tuanku Samik, adalah regen Luhak Agam. Sejak dini, Taher kecil mendapatkan pelajaran agama dari ayahnya sendiri. Saat ayahandanya meninggal dunia, Syekh Tahir diajar mengaji oleh ayahanda Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Pada tahun 1297 (1880 Masehi), Tahir berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam catatan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tahir sampai di Mekkah pada 1298 Hijriah (1881 Masehi). “Di tahun ini pula datang keluargaku untuk menunaikan ibadah haji, yaitu ibuku, saudara perempuanku Hafshah dan Shafiyah, anak bibiku Muhammad Tahir bin Jalaluddin gelar Faqih Cangking,” tulis Syekh Ahmad Khatib dalam otobiografinya, “Dari Minangkabau untuk Dunia Islam”.

Hasril Chaniago dalam “101 Orang Minang di Pentas Sejarah” (2010) menulis, di Mekkah, Tahir muda tinggal bersama Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi. “Ia belajar mengaji Al-Quran kepada Syekh Abdul Haq di madrasah Asy-Syaikh Rahmatullah. Di samping itu, ia belajar kitab kepada Syekh Umar Syatha dan Syekh Muhammad Al-Khaiyath,” tulisnya.

“Setelah itu, dia mempelajari berbagai biedang ilmu seperti nahwu, sharaf, ma’ani, badi’, mantik, fikih, hadits, tafsir, geometri dan ilmu falak (astronomi),” tulis Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar dalam “Mengenal Karya-Karya Ilmu Falak Nusantara”.

Tahir muda juga belajar pada ulama Melayu Syeikh Ahmad Al-Fathani yang baru kembali ke Mekkah dari Mesir pada 1882. Karena anjuran Syeikh Al-Fathani, Tahir kemudian berangkat ke Mesir untuk belajar di Universitas Al-Azhar.

Yulizal Yunus, dalam profil Syekh Tahir di Buku “Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya” (2001) menulis, Tahir tercatat, sebagai orang Indonesia pertama yang belajar di Al-Azhar. Selama di Mesir, Tahir mendalami dan memantapkan ilmu falak. “Dalam waktu tiga tahun ia berhasil meraih diploma ‘Syahaadah Ahmiyah’ di Universitas Al-Azhar,” tulis Yulizal.

Dari Mesir ia sempat kembali ke Mekkah. Menurut Hamka, Syekh Tahir turut membantu Syekh Ahmad Khatib mengajar murid-muridnya. Salah satu murid Syekh Tahir adalah ayahanda Buya Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah yang kelak mendapat doktor honoris causa dari Mesir. “Dia lebih ahli dalam hal falak. Sebab itu namanua biasa disebuty Syeikh Ahmad Tahir Jalaluddin Al Azhari Al Falaki,” tulis Hamka.

Setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir, pada 1888 Syekh Tahir Jalaluddin tidak pulang ke Minangkabau, tetapi ke Singapura. “Menurut catatannya sendiri, ia pertama kali menginjakkan kakinya di Singapura pada tanggal 20 Mei 1888. Sejak itu ia menuliskan namanya secara lengkap menjadi Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah Al-Minangkabawi Al-Azhari,” tulis Hasril.

Dari Singapura, Syekh Tahir berkeliling mengembara ke berbagai daerah di Indonesia untuk menetap beberapa bulan, berdialog dengan para raja, ulama dan berdakwah. Ia antara lain mengunjungi Riau, Kepulauan Anambas, Surabaya, Buleleng, Bali, Sumbawa, Bima, Makassar, Gowa dan kembali ke Singapura.

Setelah menetap di Singapura, Syekh Tahir kemudian menerbitkan Majalah Al-Imam. Majalah Al-Imam sejak pertama terbit, mempunyai misi kuat menyuarakan pembaruan pemikiran Islam. Menurut Hamka, karena Syekh Tahir pernah belajar di Mesir, berkenalan rapat dengan Sayid Rasyid Ridha, berlangganan Al-Manaar sejak terbitnya, suara beliau lebih lantang menyatakan pendiriannya.

Majalah ini yang kemudian mempengaruhi Haji Abdullah Ahmad didukung Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek dan Syekh Thaib Umar Sungayang menerbitkan Majalah Al-Munir di Padang.

Setelah Majalah Al-Imam berhenti terbit, pada 1909 Syekh Tahir kemudian mendirikan Sekolah Al-Iqbal Al-Islami di Singapura. Pada 1914 ia pindah ke Johor, mengajar para hakim dan mendirikan sekolah. Empat tahun kemudian, pada 1918 ia hijrah lagi ke Kuala Kangsar, Kerajaan Perak atas permintaan keluarga kerajaan.

“Ia hampir saja diangkat menjadi mufti kerajan Perak, tetapi pikiran-pikirannya condong ke ‘kaum muda’. Dia mendapat tantangan dari ‘kaum tua’,” tulis Saifullah dan Febri Yulika dalam “Pertautan Budaya-Sejarah Minangkabau & Negeri Sembilan”.

Menetap di Kuala Kangsar, pengaruhnya tetap terasa besar ke Minangkabau. Saat ia pulang ke Ranah Minang pada 1927, ia disambut luar biasa oleh ulama pembaharu dan umat. Syekh Tahir berkeliling Sumatra Barat berdakwah mengembuskan pembaruan pemikiran Islam sekaligus gerakan anti-kolonlisme.

Ia langsung menjadi target Belanda. Saat kembali ke Ranah Minang pada 1928, Syekh Tahir langsung ditangkap dengan tuduhan tak masuk akal, ikut menyebarkan paham komunis. Syekh Tahir semula ditahan di Bukittinggi kemudian dipindahkan ke Padang.

Penangkapan ini menimbulkan kehebohan. Protes keras disuarakan Sarekat Islam di Volksraad, Muktamar Muhammadiyah di Solo mengecam keras. Penahanan ulama dianggap sebagai penghinaan Pemerintah Hindia Belanda kepada umat Islam. “Enam bulan ditahan dan diperiksa, ternyata tuduhan kepadanya sebagai penyebar paham komunis tak terbukti. Yang benar, Belanda memang takut dan cemas dengan pengaruh Syekh Tahir yang mengobarkan pembaruan Islam dan perlawanan terhadap penjajah,” tulis Hasril.

Setelah bebas, Syekh Tahir kembali ke Kuala Kungsar untuk meneruskan kegiatan pendidikan Islam, berdakwah dan menulis puluhan buku. Di bidang ilmu falak, ia menulis empat buku. Pertama, “Natijatul Umur” terbit pada 1936 berisi mengenai perhitungan Tahun Hijriah dan Masehi, arah kiblat dan waktu salat yang dapat digunakan sepanjang masa.

Kedua, buku “Jadawil Pati Kiraan Pada Menyatakan Waktu yang Lima dan Hala Qiblat dengan Logharitma” terbit di Singapura pada 1938. Buku kedua ini berisi tentang perhitungan falakiah. Buku lainnya “Nukhabatut Taqrirat fi Hisabil Auqat wa Sammatil Qiblat bil Lugharitmat” mengupas kaedah ilmu falak, terbit pada 1937.

Buku Ilmu Falak lainnya adalah “Al-Qiblah fi Nushushi ‘Ulamais Syafi’iyah fi ma Yata’allaqu bi Istiqbalil Qiblatis Syar’iyah Manqulab min Ummuhat Kutubil Mazhab” terbit pada 1951. Buku ini disahkan oleh Majlis Ugama Islam dan Adat Melayu Perak.

Syekh Tahir Jalaluddin menikah tujuh kali sepanjang usianya. Dengan enam isterinya dari Minangkabau yang kemudian berpisah baik-baik, ia tak memperoleh keturunan. Dengan isterinya Aishah binti Haji Mustafa di Kuala Kangsar, ia memperoleh enam anak.

Syekh Tahir Jalaluddin wafat setelah salat subuh pada 26 Oktober 1956. Jasa-jasa keulamaannya sangat dihormati di Malaysia dan dikenang di tanah kelahirannya Minangkabau. Di Malaysia, namanya diabadikan jadi ke Pusat Falak Malaysia, “Pusat Falak Syeikh Tahir” (Sheikh Tahir Astronomical Center) yang didirikan pada 9 Oktober 1991 di Pulau Pinang, Malaysia.

Buya Hamka menempatkan pemikiran dua sepupu: Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Tahir Jalaluddin pada posisi teratas dalam mempengaruhi gerakan pembaruan Islam di Minangkabau.

Sumber: Langgam.id